MuslimahAceh -- Komunitas Suara Tokoh Muslimah Aceh telah melaksanakan Halal Bihalal dengan tema “Ukhuwah Islamiah Menghapus Derita Umat” pada Ahad (19/04/2024) yang dihadiri oleh para tokoh, mubalighoh, birokrat, ibu-ibu majelis taklim, hingga aktivis pelajar dan mahasiswa sebanyak 85 orang. Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini, berpusat di Meulaboh, Aceh Barat yang diikuti secara online melalui zoom meeting dari berbagai wilayah seperti Aceh Singkil, Blang Pidie, Subussalam, hingga Simeulue. Acara dimulai tepat pukul 09.15 yang dipandu oleh aktivis muslimah sekaligus akademisi, ustazah Luthfi, S.Pd.I., M.Pd. Lalu dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh ustazah Ana Miza Sari, S.Pd.I yang begitu merdu dan semakin menambah kekhidmatan acara yang berlangsung.
Setelah itu, penampilan nasyid dari Fataya Group yang begitu manis dan menarik atensi para undangan yang hadir di ruangan. Baru kemudian dilanjutkan dengan sesi talkshow bersama dua narasumber yaitu ustazah Rizka Andriani, S.S, dan ustazah Lilis Marlina, S.E.,M.Si., CRP. Talkshow diawali dari pertanyaan ustazah Luthfi yang menanyakan pada ustazah Rizka bagaimana gambaran kondisi sebenarnya muslim Rohingya dan dengan penuh semangat ustazah Rizka yang memang pegiat sejarah menjawab jika orang-orang Rohingya adalah saudara kita, mereka muslim sama seperti kita, walau tidak lahir dari rahim yang sama.
“Rohingya merupakan ras berbeda dari yang ada di Myanmar. Mereka juga punya wilayah, bahasa, perbatasan, dan agama sendiri. Namun, tahun 1948 Inggris menisbatkan kota Arakan menjadi bagian dari Myanmar. Kemudian pada tahun 1982, Myanmar melakukan Citizenship Law untuk mendata orang-orang yang ada di Myanmar, hanya 135 etnis yang diakui dan Rohingya tidak masuk karena rasnya yang berbeda.
“Pada abad 7/632-638M Islam sudah mulai ada di Arakan dan sudah ada perkumpulan orang-orang muslim yang singgah di sana untuk memenuhi kembali perbekalan sebelum sampai ke selat Malaka. Kemudian pada tahun 1700 M, pada masa Harun Ar Rasyid Islam semakin berkembang di Arakan dan menjadi salah satu penyumbang ulama ke Indonesia. Namun, saat ini banyak beredar hoaks yang mengatakan jika Arakan bagian dari Bengali, Bangladesh, Arakan juga bagian dari Israel, kemudian juga tentara-tentara Arakan diekspor dari Inggris untuk melakukan perperangan di Myanmar padahal tahun 1824, 10.000 orang-orang Rohingya melakukan perlawanan terhadap Inggris, sangat berbalik dari fakta yang ada.
“Ada sebuah statement dari kepala Pagoda/kuil Myanmar, tahun 2025 mereka akan berusaha memberangus, menghabiskan seluruh kaum muslimin yang ada di Myanmar, sehingga banyak orang-orang Rohingya hingga hari ini melarikan diri dari sana dan mengungsi di Cox’s Bazar. Di pengungsian pun keadaan mereka juga sangat tidak layak. Sekitar 1,2 juta orang yang ada hanya ditampung dalam 100 apartemen, bagaimana logikanya? Sementara ada lebih dari 8.400 anak-anak usia sekolah yang ditampung dalam 2 kelas saja, bagaimana bisa kondusif belajar dengan ribuan anak tersebut? Jadi wajar jika hari ini orang-orang mengatakan banyak anak Rohingya itu bodoh, tidak terpelajar, tidak terdidik, dan sebagainya. Selain itu, tempat penampungan itu juga tidak aman dengan ruangan terbuka bagi perempuan. Jadi wajar jika pelecehan, kriminalitas, dan pembunuhan terjadi karena berlaku teori survival of weakness, siapa yang kuat dia yang bertahan.
“Ketika kapal mereka karam di Aceh Barat, itu sangat menyedihkan bayangkan bagaimana perasaan seorang anak kecil yang telah kehilangan orang tuanya di depan matanya sendiri dalam mengarungi lautan. Jika PBB mengatakan mereka sudah dibantu dengan ditempatkan di Cox’s Bazar padahal nyatanya tempat tersebut tidak layak untuk ditempati bahkan hewan sekalipun. Ada satu lagi tempat pengungsian yaitu Bhasan Char dan tempat ini lebih tragis lagi karena ada angin puting beliung yang kecepatannya 150-200 km/jam.
Pun ketika mereka sampai di tempat kita, dengan mudahnya mengusir mereka dengan parang padahal mereka tidak punya siapa-siapa lagi, seolah-olah kita memang mengiyakan mereka di sini tanpa diberikan tempat tinggal, makanan, pakaian, dan sebagainya. Padahal mereka muslim sama seperti kita, mereka saudara kita. Hari raya kita sibuk menyiapakan segala hal, tapi lupa dengan kondisi mereka di belakang halaman kantor bupati yang juga tidak layak dengan atap terpal tanpa dinding dan penutup, bagaimana mereka tidur? Mereka adalah saudara kita, ibu kita, abang, kakak kita, adik kita, anak kita, walau tidak lahir dari rahim yang sama, tetapi mereka saudara kita yang akan memintai pertanggungjawaban kita.”
Setelah mendengarkan penjelasan dari ustazah Rizka yang begitu banjir fakta dan berapi-api, ditayangkan pula sebuah video yang kembali menampilkan fakta dan derita muslim Rohingya saat pertama kali terdampar di Pidie, Aceh akibat mesin kapal mereka yang rusak selama 42 hari menempuh perjalanan di lautan dan 10 hari pula terombang-ambing di lautan tanpa makanan karena persediaan sudah habis. Hal ini pula yang menjadi pertanyaan dari ustazah Luthfi pada narasumber kedua, apa hukum menolong pengungsi yang tiba di negeri ini, termasuk pengungsi Rohingya yang mendapat banyak penolakan dan bagaimana Islam menyelesaikan problem pengungsi?
Aktivis muslimah sekaligus intelektual Aceh, ustazah Lilis Marlina menjawab dengan lugas jika secara agama, kita wajb menolong terlepas dari stigmatisasi negatif, karena banyaknya hoaks yang beredar padahal kondisi yang sebenarnya tidak seperti itu. Kita tidak boleh terpengaruh dengan apa yang ada dan kita tidak boleh membiarkan nasib mereka begitu saja, wajib menolong mereka dalam kondisi apapun.
“Kita sudah melihat bagaimana tawaran solusi yang diberikan oleh dunia internasional, kita punya sebuah wadah yaitu PBB yang punya tujuan untuk menjaga perdamaian dunia, untuk membuat kehidupan masyarakat jauh lebih baik, tapi bagaimana tawaran-tawaran solusi yang mereka berikan terhadap saudara kita yang ada di Palestina termasuk juga resolusi gencatan senjata yang tidak hanya sekali tapi sudah berulang kali dilakukan. Apakah Israel mengindahkan dan mematuhinya?
"Adapun untuk pengungsi Rohingya, salah satu solusinya ialah menetapkan sebuah kebijakan tentang penanganan pengungsi melalui konvensi 1951 dan protokol pengungsi 1967 untuk mengatasi masalah yang terjadi di Myanmar. Namun, belum mampu menyelesaikan masalah yang ada, karena mereka bukan mengambil solusi dari tawaran Islam tapi dari peradaban Barat. Peradaban Barat dibangun atas dasar ideologi kapitalisme. Salah satu pandangan paling mendasar dari ideologi ini menjadikan akidah sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan dunia. Sekulerisme dijadikan tolak ukur melakukan atau mengambil kebijakan. Di samping itu pula, penguasa tidak berperan sebagai periayah dan tidak bertanggung jawab untuk mengurusi umatnya karena dalam sistem ini, penguasa hanya sebagai pembuat regulasi dan kebijakan, jadi wajar setiap berganti penguasa berganti juga kebijakannya, tapi tidak ada perubahan sama sekali.
"Sementara itu, resolusi yang diberikan dewan PBB pertama, mereka hanya sekedar mengutuk perbuatan pemerintah Myanmar tidak mengirimkan tentara untuk menghentikan perbuatan pemerintahan di sana. Kedua, meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan penghasutan yang dilakukan agar orang-orang Rohingya terusir dari Myanmar. Sekarang masih tersisa 600 orang karena tidak semua pergi dari Rohingya untuk mempertahankan tanah mereka, tanah kaum muslimin, tapi mereka juga masih dizalimi dan mendapatkan perlakuan yang tidak layak. Bulan Januari lalu, mereka diserang dan dianiaya, bahkan perempuan diperkosa. Jadi wajar jika kondisi mereka itu mengalami trauma.
"Sehingga, ketika pengungsi Rohingya tiba di sini, sudah pasri mengalami kondisi trauma yang menyiksa fisik juga, trauma pelecahan seksual, tapi apakah UNHCR segera memberikan bantuan berupa penanganan psikolog? Tentu saja tidak, mereka masih mempertimbangkannya dan yang dibantu hanya memberikan makan saja.
"Kemudian, saat mereka tiba di Meulaboh terjadi pengusiran di dareah Beureugang karena penolakan masyarakat. Mereka membawa parang seolah-olah muslim Rohingya itu zionis yahudi yang harus diusir. Kenapa bisa terjadi seperti ini? Karena dalam kapitalisme fungsi media bukan lagi menyadarkan masyarakat tetapi media dibentuk sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak, sehingga dibentuklah framing negatif terhadap orang-orang Rohingya. Framing negatif ini lebih parah lagi ketika penguasa yang ada di negara ASEAN menerapkan kebijakan push back policy yaitu suatu kondisi untuk menolak orang-orang Rohingya, jangan menerima mereka, buang kembali ke laut karena akan membebani negara dan sama sekali tidak menguntungkan menolong mereka. Kondisi ini diperparah lagi karena negara menganut prinsip nasionalisme, di mana kesetiaan dan kehormatan yang paling tinggi terletak pada negara bangsa, bukan pada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga nasionalisme inilah yang jadi penghalang untuk menolong kaum muslim Rohingya.
"Kemudian bagaimana hukumnya menolong pengungsi Rohingya? Kondisi nyatanya tadi mereka terusir dari negaranya karena dibantai dan mereka lari untuk menyelamatkan agamanya. Kondisi ini sudah masuk dalam kategori orang yang dizalimi. Mereka hijrah demi menyelamatkan agama mereka. Ketika mewawancarai seorang anak, ia berkata jika harapannya salah satunya bisa merasakan kehidupan dan menjadi penghafal Al-Qur'an, sehingga mereka punya harapan tinggi ke kita tapi kita malah mematahkan harapan mereka dengan perlakuan yang buruk. Maka hukumnya secara agama, kita wajb menolong, tidak boleh membiarkan nasib mereka begitu saja terlepas dari stigmatisasi negatif yang diberikan karena banyaknya hoaks yang beredar padahal kondisi yang sebenarnya tidak seperti itu.
"Adapun penanganan pengungsi dalam Islam, ada aturan yang akan mensejahterakan masyarakat. Karena dalam Islam seorang khalifah adalah Al-Imam, Al-Junnah, sebagai seorang pemimpin, seorang pelindung bagi rakyatnya, beda sekali dengan penguasa sekarang tidak ada sama sekali karakter seorang pemimpin. Dalam sejarah Islam pada masa Sultan Beyazid II terjadi akuisisi yahudi di Spanyol dan kaum muslimin saat itu melindungi dan menampung mereka. Namun, apa yang terjadi pada kita? Kita malah mengusir muslim Rohingya dan tidak memberikan perlindungan yang layak untuk mereka. Begitupun ketika masa Sultan Mansyur Syah, saat itu banyak sekali pengungsi yang datang dari Jawa karena diperangi oleh Belanda. Apa yang dilakukan Sultan? Mengirim surat ke Sultan Abdul Hamid I untuk meminta izin memerangi Belanda. Begitulah, Islam memperlakukan pengungsi," papar ustazah Lilis.
Setelah, pemaparan oleh kedua narasumber yang semakin mencerahkan dari gelapnya pemberitaan muslim Rohingya, sastrawan Aceh Ibu Rosni Idham memberikan tanggapannya terkait pengungsi Rohingya yang harusnya ditampung dan diberikan pelayanan yang baik karena mereka juga manusia dan saudara kita, bukan ditolak dan dikembalikan ke laut lagi. Lalu, Umi Nurani Manan, Mubalighoh Aceh juga ikut memberikan tanggapan terkait pengungsi Rohingya yang semakin tak terkendali penyebaran informasi hoaks oleh media yang dikendalikan oleh pihak tertentu, sehingga memerlukan persatuan umat untuk menegakkan khilafah sebagai perisai yang bisa melindungi, bukan solusi dari Barat yang bertolak belakang dengan Islam.
Kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi yang semakin menambah kesadaran dan kepekaan para tokoh yang hadir untuk lebih peduli pada muslim Rohingya apapun profesinya dan tidak membeda-bedakan muslim Rohingya dan muslim Palestina karena seluruh kaum muslimin bersaudara, bukan musuh. Setelah sesi diskusi selesai, penampilan kembali dari Fataya Nasyid untuk merilekskan pikiran dan kemudian dilanjutkan dengan testimoni oleh perwakilan tokoh yang hadir, dari Nurmalawati atau yang lebih dikenal dengan kak Mala yaitu Mama Rohingya dan sudah menjadi relawan kemanusiaan sejak lama.
"Kondisi muslim Rohingya di Kabupaten Pidie sangat miris. Hanya terdiri dari tenda-tenda darurat dari terpal yang berada di pinggir laut dengan alas seadanya, bahkan ada yang hanya beralaskan pasir dan tempat mereka itu yang bisa saja sewaktu-waktu roboh karena angin dan badai dari laut. Belum lagi kondisi mereka ketika hujan dan panas yang membakar kondisi mereka di pengungsian. Jika dikatakan hidup mereka enak karena diberikan makan gratis, tapi kenyataannya sangat jauh berbeda. Mereka hidup terlunta-lunta di pengungsian yang sama sekali tidak layak untuk ditinggali," ungkapnya sedih.
Lalu, ibu Safrina Dewi salah seorang Mubalighoh Aceh Barat, yang merasa sedih dan menangis melihat kondisi muslim Rohingya yang demikian.
"Kita yang mengaku sebagai umat nabi Muhammad tapi kita seolah menutup mata terhadap mereka. Kita orang Aceh, orang yang sangat memuliakan tamu dan kaum muslimin yang lain, tapi mengaapa hari ini kita menolak dan menjauhi mereka hanya karena framing negatif dari media-media akibat sistem yang diterapkan. Nilai-nilai ukhuwah Islamiyah perlahan hilang dari masyarakat akibat sistem ini. Kita butuh negara yang bisa mengayomi kita, yang bijak dalam menghadapi propaganda dunia. Sebagai orang-orang yang beriman kita harusnya menyaring informasi dan mencari berita yang benar sesuai perintah Allah dalam surah Al Hujurat ayat 6."
Setelah itu, acara ditutup dengan pembacaan doa oleh ustazah Asmarida, S.Pd.I yang mengharu biru dan penuh air mata dan kemudian tak lupa diakhiri dengan foto dan makan bersama. [] JS
#Ukhuwahislamiah
#Menghapusderitaumat
#TerapkanIslamkaffah