Penulis Oleh: Fadhilah Fithri S.Pd.I
TUMPAS OPINI -Bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh dengan ampunan serta rahmat-Nya. Kita selalu bersemangat menyambut Ramadhan dan bersemangat pula mengisi hari-harinya dengan berbagai macam bentuk ibadah wajib maupun sunah. Kita pun meninggalkan semua perkara yang membatalkan puasa, kita tinggalkan segala perkara yang haram hingga yang makruh. Bahkan perkara mubah pun mampu untuk kita tinggalkan. Singkatnya, disaat bulan Ramadhan kita isi sepenuhnya dengan beragam amal shalih agar bisa meraih derajat takwa, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". (TQS. Al-Baqarah ayat 183)
Menurut Tafsir Ibnu Katsir takwa adalah menaati Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka'ab mengenai takwa. Ubay bertanya, "Pernahkah kamu berjalan di jalan yang penuh dengan duri?" Umar menjawab, "Ya." Ubay kemudian bertanya lagi, "Apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab, "Aku menggulung lengan bajuku dan berusaha (melintasinya)." Ubay berkata, "Inilah (makna) takwa, melindungi seseorang dari dosa dalam perjalanan kehidupan yang berbahaya sehingga ia mampu melewati jalan itu tanpa terkena dosa."
Oleh karena itu, seharusnya setelah Ramadhan umat Islam menjadi umat yang bersih dari segala kemaksiatan baik itu kemusyrikan dan perilaku kriminal. Umat yang menjalankan syariat Allah secara keseluruhan tanpa tebang pilih. Umat yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan hidup dan definisi kebahagiaan. Dengan demikian terbentuklah predikat umat Islam adalah umat yang terbaik sebagaimana yang telah Allah berikan (al-Imran ayat 110).
Namun sayangnya, dari Ramadhan ke Ramadhan umat Islam tidak mengalami perubahan. Nilai takwa yang diharapkan sebagai buah dari pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan tidak terwujud sama sekali dalam diri kaum Muslimin serta kehidupannya. Seperti biasa momentum Ramadhan dianggap hanya sekedar ibadah rutin tahunan yang tidak memiliki efek perubahan yang berarti.
Hal ini terbukti setiap selesai Ramadhan aktivitas seperti semula kembali dilakukan. Bahkan yang mirisnya nilai-nilai Ramadhan semakin lama semakin terkikis. Saat ini nuansa islami itu hampir hilang, meskipun bersifat musiman (hanya di musim Ramadhan saja) setidaknya masih ada rasa keimanan dan penghormatan terhadap bulan yang mulia tersebut.
Kemaksiatan semakin merajalela. Umat tidak lagi segan untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan secara terang-terangan. Bahkan mirisnya lagi menteri agama kita justru meminta umat Islam yang sedang berpuasa untuk menghormati orang yang tidak berpuasa.
Disisi lain, hingga saat ini kita masih menyaksikan potret buram kehidupan umat Islam yang hidup di negeri dengan julukan 'zamrud katulistiwa' yang penuh dengan keprihatinan yang luar biasa. Semenjak Indonesia merdeka, telah lebih dari 78 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekuler, baik bercorak sosialistik di masa Orde Lama maupun kapitalistik di masa Orde Baru dan neo liberal di masa Reformasi.
Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam atau syariah memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan dan negara, agama (Islam) ditinggalkan.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Terlebih dengan berjalannya neoliberalisme, negara makin tak berdaya karena diamputasi oleh berbagai peraturan perundangan kebijakan yang diambil penguasanya sendiri. Sehingga kuasa korporasi makin merajalela dan sangat merugikan kepentingan rakyat. Maka, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem yang berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi.
Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 78 tahun merdeka, tapi sekarang ada lebih dari 250 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan, puluhan juta angkatan kerja menganggur. Sementara, jutaan anak putus sekolah, jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi.
Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi. Apalagi tradisi jahiliyah dalam menyambut Ramadhan dan hari raya Syawal semua harga-harga sembako mengalami kenaikan, seolah-olah mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 78 tahun merdeka, hidup kok makin susah.
Belum lagi jika kita berbicara tentang kebobrokan moral generasi kita, dengan munculnya banyak kasus perundungan, asusila, hamil diluar nikah, aborsi, hingga sampai penghilangan nyawa. Semua itu didukung oleh media yang seolah berupaya meracuni generasi Islam sekaligus mengarahkan mereka pada kultur dan budaya Barat yang bobrok, yang tentu saja berseberangan dengan budaya Islam.
Dengan melihat semua fakta ini, kita patut bertanya, bukankah negeri ini mayoritas penghuninya adalah Muslim? Bukankah mayoritas para pejabat/penguasa yang bertengger di kursi-kursi empuk mewah itu juga mayoritas Muslim? Bukankah mereka, saat memasuki bulan Ramadhan, berbondong-bondong antusias mengisinya dengan beragam ibadah agar bisa meraih takwa? Bukankah setiap Muslim tahu bahwa takwa adalah buah manis yang harus diraih dari proses puasa yang dilakukan sebulan penuh selama Ramadhan?
Namun, mengapa puasa Ramadhan seolah-olah tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada mereka? Mengapa usai Ramadhan mereka tidak terlahir menjadi pribadi yang baru, yakni pribadi yang benar-benar bertakwa sebagai buah dari puasa Ramadhan?
Tentu, dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, setiap Muslim merindukan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya; kehidupan yang dinamis di bawah sebuah sistem yang sahih, yang bisa menenteramkan jiwa, memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia; kehidupan yang dipimpin oleh orang-orang salih, berpandangan jauh ke depan dan visi keumatannya lebih menonjol daripada visi dan kepentingan nafsu pribadinya. Semua itu landasannya adalah takwa. Takwalah yang menjadikan manusia meraih derajat paling mulia di sisi Allah SWT:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa (TQS al-Hujurat ayat 13).
Tentu, Allah SWT tidak pernah menyalahi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar (sesuai dengan tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT seraya belajar memahami hakikat berbagai peribadatan untuk menjadikan dan membentuk jiwa seorang Muslim tunduk pada segala aturan (syariah) dan tuntunan yang dibawa Rasulullah Saw, niscaya hikmah takwa itu akan dapat terwujud.
Sadarkah kita, bahwa Ramadhan bagi umat Islam itu bukan segalanya? Ramadhan adalah bagian dari bulan saat Allah SWT memerintahkan di dalamnya satu kewajiban, yakni ibadah puasa. Namun, kewajiban sebagai hamba Allah SWT tidak hanya sebatas puasa. Tentu masih banyak kewajiban lain selain puasa. Islam tidak sebatas puasa atau sebatas shalat dan ibadah ritual lainnya.
Namun, puasa bisa dijadikan titik tolak untuk menuju perubahan kehidupan kaum Muslim yang lebih baik secara keseluruhan.
Sejatinya, bagi setiap Muslim yang bertakwa, Ramadhan tidak akan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak ukiran yang terpahat kuat di dalam dirinya, yakni sebuah nilai kesadaran akan pentingnya kembali hidup taat dengan aturan Allah SWT.
Bagi seorang Muslim yang bertakwa, akidah dan syariah Islam adalah kebutuhan dan persoalan antara hidup dan mati. Akidah dan syariah Islam harus menjadi faktor penentu hidup ini berarti atau tidak, mulia atau hina, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Karena itu, seorang Muslim yang bertakwa harus berani mengatakan “tidak” terhadap sekularisme. Ia harus segera membuang demokrasi dan mencampakkan ideologi Kapitalisme beserta turunannya. Sebab, semua itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Semua itu wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang bertakwa selagi Allah SWT masih memberikan kesempatan dan sebelum datangnya ketentuan-Nya:
"Hingga jika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku bisa berbuat amal salih sebagai ganti dari yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang dia ucapkan saja. Di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (TQS. Al-Mukminun ayat 99-100).
Sudah menjadi fakta yang tidak terelakkan, jawaban atas carut-marutnya kehidupan kaum Muslim, khususnya di negeri ini, adalah kembali ke jalan Allah SWT, yaitu dengan menegakkan kembali hukum-hukum-Nya secara kaffah dalam institusi daulah khilafah yang sesuai dengan manhaj (metode) kenabian. Sebab, tiada kemulian tanpa Islam, tiada Islam tanpa syariah, dan tidak akan pernah ada syariah yang kaffah kecuali dengan menegakkan daulah khilafah al-Islamiyah. Wallahu a'lam bishshowab
Like and share, semoga menjadi amal
sholih
Find us on
Facebook : Muslimah Rindu Syariah