Nasional-Bagaimana mungkin masalah politik dapat disikapi dengan rasa humor, dan selera humor politik dapat dijadikan salah satu cara menghadapi ketidakpastian politik dan ketidakpastian hukum yang saling jalin menjalin akrab, membangun satu gerombolan yang saling menguatkan antara yang satu dengan yang lain.
Setidaknya ada semacam ketidakrelaan bila soal politik terlalu banyak diambil alih oleh para pelawak, apalagi lagi para stand up komedi yang semakin surut para peminatnya, lantaran selera humornya yang rendah, tapi juga tampaknya disebabkan humor politik hanya mampu sesekali saja tampil dalam bentuknya yang lebih konyol untuk membuka mata hati dan nurani yang nyaris tak pernah diketuk selama Pemilu tahun 2024 di Indonesia. Letupannya mungkin ketika putusan MK (Mahkamah Konstitusi) mengeluarkan putusan atas sengketa Pemilu 2024 yang semakin ngaco, sehingga membuncah keresahan banyak yang terpaksa ikut menghantar gugatan formal itu kepada MK.
Jadi, MK menjadi penakar terakhir dari kesabaran rakyat yang mendambakan keadilan terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024 yang ditemukan banyak kecurangan oleh rakyat di berbagai tempat. Begitulah ironinya pesta demokrasi yang berakhir pada acara gugat menggugat di MK. Artinya, sebuah pesta yang berakhir dengan sengketa menjadi penanda buruk dari apa pun yang kelak akan dihasilkan dari pesta itu kelak.
Ibarat pesta sebuah perkawinan dari sepasang pengantin, bisa dipastikan bila dalam serangkaian pesta perkawinan itu dilakukan dengan tata adat yang culas, maka hasil dari perkawinan itu tak akan memberi berkah bagi pengantin maupun keluarganya yang lain. Boleh jadi percekcokan maupun pertengkaran dalam bentuk yang tak terduga menimbulkan bencana yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Karena itu, dalam tradisi maupun budaya masyarakat selalu diawali dengan niat baik dan do'a agar apa yang hendak dilakukan -- terlebih buat sebuah pesta yang bersifat sakral pula dalam sumpah dan janjinya kepada Tuhan demi dan untuk kebaikan semua pihak, bukan sekedar demi dan untuk kemaslahatan diri sendiri.
Betapa ironisnya sel setiap kali usai Pemilu di Indonesia harus diakhiri dengan perseteruan di pengadilan. Dalam konteks demokrasi, realitas seperti itu jelas langkah mundur yang tidak pernah bisa membangun rasa kenyamanan, rasa ketenteraman, rass ketertiban dan rasa keadilan karena terlalu banyak ditengarai terjadi kecurangan.
Lalu mungkinkah kehidupan berbangsa dan kehidupan bernegara kita dapat diharap lebih maju dan lebih beradab untuk menghadapi benturan peradaban dalam skala global.
Wallahu alam !
Banten. 29 Maret 2024