Pewarta: T. MUHAMMAD RAJA Hp/Wa: 0852-8290-3462
Minggu, Maret 10, 2024, 08.54
Last Updated 2024-03-11T07:51:38Z
ACEH BESARBanda AcehLHOKSEUMAWENANGGROENASIONALRAMADHAN 2024

Meugang Puasa: Tradisi Masyarakat di Aceh Dari Turun-temurun dan Pembuktian laki-laki, Bukan lelaki Aceh Bila Tak Mampu Membeli Daging Meugang


Aceh Utara-Sebagai hari pertama Meugang Minggu 10 Maret 2024/1445 H, masayarakat Aceh umumnya sedang melaksanakan atau memeriahkan hari makmeugang. Yaitu sebuah tradisi yang unik ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Salah satu tradisi masyarakat di Aceh dalam menyambut bulan puasa adalah melaksanakan pemotongan hewan pada satu atau dua hari sebelum bulan puasa.

Tradisi keren yang masih dijaga dengan baik di provinsi paling ijung Indonesia di Aceh, namanya Meugang atau Mak’meugang. adalah acara makan daging yang dilakukan, Misal sebelum puasa Ramadhan, lebaran Idul Fitri, dan Idul Adha. Masyarakat di Aceh menganggap tradisi ini sangat penting dan tidak boleh dilewatkan.

Bahkan, semua orang di Aceh baik di kota maupun di desa ikut serta dalam perayaan Meungang. Di beberapa tempat di Aceh, makanan daging yang disajikan pada perayaan meugang memiliki variasi yang berbeda-beda sesuai dengan khas daerahnya. Misalnya di Pidie, Bireun, dan Aceh Utara, mereka lebih suka menyajikan kari atau sop daging, sementara di Aceh Besar, masyarakat cenderung menyajikan daging asam keueung dan sie reuboh (daging yang dimasak dengan cuka), meskipun juga bisa ditambah dengan sop daging atau reundang (rendang daging).

“Meugang” merupakan hari yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama-sama dengan keluarga, yang dilakukan sehari menjelang bulan puasa. Hari tersebut merupakan waktu yang dimanfaatkan oleh keluarga di Aceh sebagai waktu berkumpul dan makan bersama. Bahkan, tidak jarang juga keluarga di Aceh yang mengundang anak yatim untuk menikmati kebersamaan hari Meugang ini.

Meugang dianggap punya nilai religius karena dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam. Bagi masyarakat Aceh, Ramadhan dianggap bulan untuk menyucikan diri. Masyarakat Aceh memegang teguh kepercayaan bahwa nafkah yang telah dicari 11 bulan dinikmati selama Ramadhan sambil beribadah. Menurut kisah, pada awalnya meugang itu dilakukan pada masa Kerajaan Aceh.

Waktu itu, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan gratis kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur kemakmuran dan terima kasih kepada rakyatnya dan juga untuk merayakan datangnya bulan suci Ramadhan. Setelah Kerajaan Aceh dikalahkan oleh penjajah Belanda, masyarakat Aceh berinisiatif sendiri untuk melakukan pemotongan sapi guna memeriahkan hari Meugang, sehingga tradisi ini tetap mengakar kuat di tengah masyarakat Aceh sampai hari ini.

Meugang sebenarnya juga memiliki sisi negatif. Meugang kini menjadi sebuah tradisi yang mengagungkan kemampuan ekonomi bagi masyarakat Aceh. Untuk para pria di Aceh, Meugang merupakan pembuktian bahwa dirinya adalah benar-benar seorang laki-laki. Bukan lelaki Aceh namanya bila tak mampu membeli daging pada hari Meugang. Semakin banyak daging yang mampu dibawa pulang, maka semakin tinggilah harga diri seorang pria di mata masyarakat.

Untuk pengantin baru, Meugang juga digunakan sebagai ajang pembuktian harga diri. Jika sang suami tak mampu membawa pulang daging sebanyak minimal 5 kilogram, maka oleh mertuanya ia akan dianggap sebagai lelaki yang tidak mampu dan tak punya rasa malu. Bahkan seringkali hal ini akan menjadi bahan gunjingan para tetangga, walau sebenarnya sang mertua tidak pernah mempersalahkan hal tersebut. Bahkan, jika ia berada di daerah yang masih sangat kental adatnya, sang pria itu bisa jadi tidak diterima lagi sebagai menantu.

Sehingga wajar bila kemudian harga daging di Aceh pada hari Meugang meroket tajam mencapai ratusan ribu rupiah. Padahal pada hari biasa, harga daging hanya berkisar antara Rp. 80-90 ribu per kilogram. Sehingga mereka yang termasuk kelompok ekonomi lemah akan mencari berbagai cara untuk dapat membawa pulang daging Meugang ke rumah, termasuk dengan cara berhutang.

Simbolisasi kemakmuran ini telah menjadikan jurang pemisah yang lebar antara si kaya dan si miskin. Meskipun demikian, Meugang tetaplah sebuah tradisi masyarakat Aceh yang perlu dijaga. Hanya saja perlu cara pandang yang berbeda terhadap hari spesial itu.

Secara garis besar Meugang itu dapat dikatakan sebagai tanda atau bentuk syukur untuk menyambut bulan Ramadhan. Zaman dahulu belum ada alat komunikasi untuk menyampaikan dan menandakan kapan datangnya Ramadhan. Sekarang sudah ada pemberitahuan dari pemerintah dan para ulama bahkan ada lembaganya sendiri yang mengatur ketentuan datangnya Ramadhan setelah melihat bulan. sedangkan Makna lain adalah bahwa ada beberapa elemen lain yang terkandung dalam perayaan Meugang, menjelang masuknya bulan penuh Rahmat ini, yaitu dilaksanakan secara kekeluargaan.

Contohnya, jika ada anak atau menantu yang jauh, dia akan pulang sehari sebelum Meugang. Konsepnya lebih kepada silahturrahmi. Jadi, tidak ada dosa lagi, sudah dihapus semuanya dengan saling meminta maaf dan memaafkan “Insha Allah”. Selain itu Meugang juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Ada solidaritas di sana. Selanjutnya, nilai solidaritas dari membangun rasa kebersamaan dengan makan bersama, dan ada rasa cemas jika salah satu anggota keluarga belum berkumpul di rumah. Selain itu Meugang bermakna ekonomi, sosial juga ritual. 

(Editor: T.M.Raja)